AYAH

Ayah Hebat Peduli Anak “Jika ayah memahami bahwa anaknya adalah masa depan umat, maka tidak ada ayah yang mengabaikan anaknya demi bisnisnya.” ungkap Ustadz Budi Ashari, Lc dalam Kajian Rabu Malam, Masjid Darussalam, Depok (16/4/2014). Pakar sejarah Islam ini mengingatkan para ayah bahwa anak-anak adalah hal yang paling mahal. Anak adalah mustaqbala ummah-masa depan ummat-. Di tangan merekalah peradaban Islam kelak. Jika hari ini kita masih kesulitan memilih pemimpin karena keterbatasan individu, maka para ayah harus mulai memikirkan bagaimana mencetak generasi pemimpin masa depan. Jangan sampai ayah terlalu sibuk di luar. Mencari nafkah memang tugas ayah, tapi itu bukan merupakan tugas satu-satunya. “Nabi adalah sosok yang paling sibuk, tapi masih sempat meluangkan waktu mengusap kepala setiap anak yang ditemuinya. Bahkan Nabi menyempatkan diri mendidik dan bermain dengan cucu-cucunya. Apakah kesibukan kita mengalahkan nabi sehingga tak sempat peduli dan memperhatikan anak-anak?” tanyanya tegas. Ayah dengan empat anak ini pun mengungkapkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab yang terkenal tegas dan galak saja sangat dekat dengan anak-anak. Ini membuktikan bahwa seorang laki-laki yang telah menjadi ayah harus bisa menempatkan diri, kapan menjadi laki-laki yang tegas dan kuat, kapan menjadi sosok lembut kepada anak dan istrinya. Alumnus Universitas Madinah ini berkisah tentang kehebatan ayah Shalahuddin al Ayubi. Tidak mengherankan jika Shalahuddin menjadi orang besar di kemudian hari, pembebas Al Aqsha. Hal tersebut tidak lepas dari peran besar ayahnya yang menanamkan nilai dan keyakinan sejak kecil. Ketika Shalahuddin kecil bermain dengan anak-anak perempuan di jalan, ayahnya mengambilnya dari tengah mereka. Ia pun mengangkat tubuh Shalahuddin tinggi-tinggi ke udara. Ayah Shalahuddin berkata, “Dulu, saya menikah dengan ibumu bukan untuk melakukan seperti ini. Aku menikah dengan ibumu agar kelak kau yang membebaskan al Aqsha!” Shalahuddin dijatuhkan ke tanah, ia kesakitan. Ayahnya bertanya, apakah kamu sakit karena jatuh? Shalahuddin menjawab: Ayah menyakiti saya. Ayahnya bertanya lagi, “Mengapa kamu tidak teriak saja karena sakit?” Shalahuddin kecil pun menjawab,” Tidak layak seorang pembebas al Aqsha mengeluh kesakitan!” Setelah membahas pentingnya peran ayah bagi anak, pakar pendidikan Islam ini mengutip karya Dr. Adnan Baharist yang mengungkapkan bahwa Allah telah siapkan perangkat agar aqidah anak terjaga. Menurutnya, anak-anak di usia awal mengambil nilai, akhlaq, hanya dari orang tuanya. Allah menjadikan orang tua sebagai contoh terhebat bagi anaknya. “Di fase awal, anak-anak hanya percaya pada orang tuanya sehingga sulit digendong orang lain. Inilah perangkat yang Allah siapkan dalam rangka menjaga anak dari pengaruh luar. Masa kanak-kanak manusia lebih lama dibanding makhluk lain, agar cukup bagi orang tua menanam aqidah di diri anak.” tandasnya. (nu/PN)

Tuesday, February 17, 2015

Pendidik seperti Sholeh bin Kaisan (Pencetak Umar bin Abdul Aziz)


budi

Ditulis oleh Budi Ashari

Pendidik seperti Sholeh bin Kaisan (Pencetak Umar bin Abdul Aziz)

Kebesaran seorang pendidik bisa dilihat dari hasil didikannya. Dunia hingga hari ini belum bisa menduplikat pemimpin sesholeh dan sehebat Umar bin Abdul Aziz. Dia adalah hasil dari perjalanan panjang sebuah pendidikan.
Agar kita sadar bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah karya besar para pendidiknya, perlu diketahui beberapa hal,
  1. Ayah dari Umar yaitu Abdul Aziz bin Marwan adalah seorang Gubernur Mesir yang bertugas lebih dari 20 tahun. Sementara Umar bin Abdul Aziz besar dan menuntut ilmu di Madinah, kota kelahirannya. Jadi keberadaan anak dan orangtua yang berjauhan jelas memerlukan pengasuhan para pendidik yang istimewa.
  2. Umar bin Abdul Aziz bukan anak yang sudah mudah diatur sejak awal. Ada beberapa kisah di masa kecilnya Umar yang menunjukkan bahwa gaya seorang anak pejabat begitu lekat pada dirinya. Seperti menghabiskan waktu untuk bersolek yang mengakibatkan terabaikannya kewajiban.
Juga kisah berikut ini,
Suatu saat Umar bin Abdul Aziz ditanya: Bagaimana kisah pertama kali kamu menjadi baik?
Umar bin Abdul Aziz menjawab: Suatu saat saya ingin memukul pembantu saya. Dia berkata kepada saya (Hai Umar, ingatlah suatu malam yang paginya adalah hari kiamat)
Artinya, Umar bin Abdul Aziz yang memang cerdas dan sesungguhnya sangat bersemangat belajar sejak awal usianya, juga mempunyai celah-celah diri yang memerlukan seorang pendidik yang mampu mengubahnya menjadi ledakan potensi yang dahsyat.
Salah seorang pendidik Umar bin Abdul Aziz yang langsung diserahi oleh ayahnya adalah seseorang yang bernama: Sholeh bin Kaisan.
Kita harus mengenal Sholeh bin Kaisan. Sebagai petunjuk bagi para pendidik atau pengasuh generasi yang diserahi amanah untuk mendidik anak orang lain. Beginilah pendidik yang berhasil melahirkan pemimpin fenomenal tiada duanya di bumi ini!
Sholeh bin Kaisan sebenarnya tadinya hanya seorang maula (mantan budak yang dibebaskan) Bani Ghifar. Tapi begitulah, ilmu dan iman mengangkat seseorang. Hingga para ahli sejarah dan ulama seperti adz-Dzahabi (dalam Siyar a’lam an Nubala’ dan Tadzkiroh al Huffadz) menyebut Sholeh bin Kaisan sebagai berikut:
Al Imam, Al Hafidz, Ats Tsiqoh, salah satu ulama besar hadits. Sholeh mengumpulkan ilmu hadits, fikih dan muruah (kewibawaan menjaga kehormatan diri).
Dia adalah salah seorang ulama besar Kota Madinah.
Sebutan Imam, Hafidz, Tsiqoh adalah merupakan sebutan para ahli hadits yang menunjukkan tingkatan ilmu yang sangat tinggi dan amanah serta kesholehan yang tidak diragukan.
Dari semua sifat mulia inilah maka para pendidik hari ini bisa belajar. Bahwa seorang pendidik harus benar-benar menghiasi dirinya dengan berbagai sifat mulai tersebut. Setidaknya ada 3 sifat yang ada pada gelar-gelar bagi Sholeh bin Kaisan, yang harus ada pada sifat para pendidik hari ini:
a. Ilmu yang mumpuni
b. Kesholehan yang tidak diragukan
c. Muruah (sebuah sifat yang menjaga seseorang dari rusaknya citra, walau hal tersebut bukan dosa)
Sholeh bin Kaisan diberikan Allah usia yang panjang. Menurut sebagian riwayat, Sholeh meninggal dengan usia lebih dari 100 tahun. Meninggal setelah tahun 140 H.
Dengan usia yang panjang itulah, dia bisa menyaksikan hasil didikannya yaitu Umar bin Abdul Aziz saat menjadi Khalifah hingga Umar meninggal tahun 101 H.
Umar bin Abdul Aziz yang telah merasakan hasil didikan dalam dirinya yang telah ditempa oleh Sholeh bin Kaisan, maka Umar juga menitipkan anak-anaknya agar dididik juga oleh Sholeh bin Kaisan.
DR. Ali Ash Shallaby menjelaskan hal ini,
“Seorang guru atau pendidik terhitung sebagai salah satu ruang sudut dalam proses pengajaran. Umar bin Abdul Aziz telah memilih pendidik bagi anak-anaknya dari orang terdekatnya, sangat dikenalnya dan sangat dipercayainya.” (Lihat buku: Umar ibn Abdil Aziz)
Orang itu adalah Sholeh bin Kaisan. Penjelasan ini selain menjadi pelajaran bagi para pendidik, juga menjadi wejangan bagi para orangtua yang mau menitipkan anak-anaknya dalam pendidikan. Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang ayah menitipkan pendidikan dan pengasuhan anaknya kepada orang yang dikenalnya betul dari semua sisi juga sangat dipercayainya.
Para pendidik –arsyadakumullah (semoga Allah membimbing antum semua)-, menjadi guru ataupendidik generasi bukanlah sekadar sebuah profesi yang dengannya seseorang mendapatkan uang. Tetapi ini adalah amal mulia yang membanggakan di sisi Allah.
Belajarlah dari Sholeh bin Kaisan. Seorang pendidik dengan keilmuwan yang tak diragukan. Jangan berhenti belajar ketika telah menjadi guru. Karena inilah masalah yang sering dijumpai dari para guru. Peningkatan ilmu hampir tidak terlihat saat telah menjadi seorang guru.
Belajarlah dari Sholeh bin Kaisan. Seorang pendidik dengan kesholehan diri yang tidak meragukan lagi. Karena anak didik kita tidak hanya mendengarkan ilmu yang disampaikan. Tetapi juga melihat gerak-gerik para guru. Kesholehan guru adalah sesuatu yang tidak terajarkan tetapi tertanamkan pada anak. Inilah bahayanya para pendidik dengan ketidakjelasan moral. Bagaimana jadinya generasi ini, tanpa pendidik yang sholeh.
Belajarlah dari Sholeh bin Kaisan. Seorang pendidik yang menghiasi dirinya dengan kewibawaan seorang ahli ilmu. Dia menjaga dirinya bukan saja dari dosa. Tetapi juga dari berbagai hal yang akan mencederai kewibawaan dirinya sebagai ahli ilmu. Bisa jadi bukan dosa, tetapi karena perbuatan itu maka jatuhlah harga diri seorang guru. Maka apalah jadinya anak-anak, jika para pendidik telah jatuh harga dirinya di hadapan orangtua murid dan anak-anak.
Dicari pendidik seperti Sholeh bin Kaisan!
Untuk melahirkan anak didik seperti Umar bin Abdul Aziz!

Agar Nasehat Untuk Anak Bekerja Dahsyat (2)

Agar Nasehat Untuk Anak Bekerja Dahsyat (2)
(Belajar dari Luqman)

Kembali tentang nasehat Luqman. Belajar darinya. Kita sering kali langsung masuk ke dalam isi nasehat yang berharga itu. Tetapi sesungguhnya ayat memulai dengan kunci penting tentang pendidikan anak. Sebelum bicara tentang isi nasehat. Dari sekian banyak interaksi orang tua dengan anaknya bisa berupa bicara, memandang, senyum, menyentuh, mengusap, dan sebagainya. Nasehat Luqman menunjukkan mana yang paling istimewa. Dari sekian interaksi antara orang tua dan anaknya, yang paling istimewa untuk pendidikan anak adalah maudizhah(يعظه)/nasehat dengan lisan.
Maka bicaralah kepada anak dengan cara menasehati. Nasehat bukanlah sekadar kata perintah dan larangan. Ia bisa berisi perintah dan larangan seperti nasehat Luqman sendiri. Tetapi perintah dan larangan yang kaya dengan rasa dan ruh.
Kita harus membedakan antara nasehat dan marah. Nasehat dan hanya instruksi. Nasehat dan serba larangan. Nasehat dan membongkar aib. Walau nasehat bisa berisi perintah, larangan dan membenahi aib.
Keberhasilan Luqman mengubah anaknya menjadi baik, karena yang keluar dari lisannya adalah nasehat. Kalimat (وهو يعظه/dan dia sedang menasehatinya) terletak setelah Allah menyebutkan (ولقد آتينا لقمان الحكمة/Sungguh telah Kami berikan kepada Luqman Al Hikmah).
Sekali lagi, inilah rahasia kesuksesan kalimat-kalimat Luqman untuk anaknya. Nasehat Luqman berawal dari Al Hikmah yang dianugerahkan kepadanya.
Ibnu Mushtafa (w: 1306 H) berkata tentang hikmah: Lisan yang berucap kebenaran, fisik yang mampu mengingkari dan anggota tubuh yang bergerak. Jika bicara, bicara dengan hikmah. Jika berpikir, berpikir dengan hikmah. Jika bergerak, bergerak dengan hikmah. (Lihat Al Qiyam At Tarbawiyyah Al Mutadhamminah fi Surati Luqman, Abdul Aziz Abdul Muhsin Muhammad)
Untuk lebih jelas memahami bagaimana Luqman sebagai seorang ayah, Ibnu Katsir meriwayatkan dari Abu Darda’ radhiallahu anhu yang menyampaikan tentang Luqman,
“Ia tidak diberi seperti yang lain. Tidak keluarga, tidak harta, tidak keluarga terpandang dan tidak modal kebesaran. Tetapi ia adalah orang yang tegas, pendiam, panjang berpikirnya, dalam analisanya.....ia tidak mengulangi kalimatnya kecuali dengan kalimat yang mengandung hikmah yang akan diulangi oleh orang lain.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan Al Hikmah dengan: pemahaman, ilmu dan cara menyampaikan. Kalimat-kalimat Luqman gabungan dari ketiganya. Pemahaman yang dalam, ilmu yang mumpuni dan cara menyampaikan yang tegas, lembut tetapi penuh perenungan.
Dan begitulah seharusnya kita menjadi orangtua. Jika ingin nasehat bekerja dahsyat pada anak-anak kita, maka jadilah orangtua yang memiliki Al Hikmah. Al Hikmah ini adalah anugerah Allah seperti dalam ayat tentang Luqman tersebut, hasil dari kesholihannya. Maka kesholihan orang tua akan menuntun lisannya untuk mengucapkan hikmah. Mendekat kepada Allah memastikan lisan, hati dan perbuatan akan ditaburi dengan hikmah. Yang keluar dari lisannya bukan sumpah serapah, hanya kata perintah atau serba larangan. Bukan juga lisan yang hanya mengalirkan sumbatan amarah di hati. Tetapi lisan yang menyampaikan ilmu baik yang tersimpan di akal, kelembutan rasa, dan kedalaman ruh yang ada di hati. Lisan yang menyampaikan dengan bahasa lugas bahkan tegas tetapi bertabur kelembutan bahkan keindahan.

Jangan Kalah dari Iblis
Iblis adalah musuh nyata anak cucu Adam. Korbannya, bapak manusia itu berikut istrinya. Bagaimana Adam dan istrinya bisa tertipu oleh Iblis, padahal keduanya telah diberi panduan dan peringatan langsung oleh Allah yang memberi keduanya kenikmatan surgawi.
Inilah kunci ‘keberhasilan’ Iblis,
وقاسمها إني لكما لمن الناصحين
Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua" (QS. Al A’raf: 21)
Iblis yang jelas-jelas musuh mencoba mendekat dengan meyakinkan bahwa dirinya bukanlah musuh. Tetapi pemberi nasehat. Dia hadir bak pahlawan yang membawa kasih sayang dengan untaian kalimat penuh makna.
Bahkan Iblis bersumpah untuk semakin meyakinkan itu. Bahwa ia benar-benar tulus untuk menasehati. Ia bersumpah tidak akan mencelakai tetapi akan menolong dan menunjuki sebuah rahasia kebesaran dan kebahagiaan.
Kalimat jahat Iblis berbungkus nasehat, mampu mengubah. Mengubah kebenaran yang ditunjukkan Allah kepada Adam agar jangan mendekati pohon yang ditunjuk agar tidak menjadi orang yang dzalim. Inilah kalimat Iblis yang mampu menggoyahkan Adam dan istri,
وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ
Dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". (Qs. Al A’raf: 20)
Kalimatnya jelas, baik, lugas dan menyampaikan sebuah kebaikan dan kebesaran. Tawaran kebesaran dan kebahagiaan Iblis inilah yang mampu membuat Adam lupa akan larangan Rabb nya.
Mengapa kalimat Iblis efektif?
Karena disampaikan dengan cara menasehati.
Bukan sekadar memerintah untuk melanggar: Dekati saja pohon itu!
Tidak juga dengan memarahi: Mengapa kamu mau menjadi orang bodoh yang mau dilarang-larang!
Tidak menampakkan permusuhan walau ia musuh. Tetapi menampakkan diri sebagai orang dekat yang mengasihi.
Dengarkan sekali lagi kalimat Iblis yang ‘menasehati’,
"Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".
Kini, tahukah kita mengapa Iblis ‘berhasil’ mengubah?
Cara Iblis ini selalu menjadi jalan yang ditempuh oleh para pelaku kejahatan dan kerusakan untuk merayu korbannya. Mereka tidak datang dengan wajah menyeramkan dengan aroma busuknya. Tetapi hadir sebagai penolong, pengasih yang berucap dengan kalimat penuh makna, lembut, empati dan menyampaikan jalan kebesaran serta menawarkan kebahagiaan yang lebih besar.
Begitulah,
Para orang tua jangan kalah dari Iblis
Dan
Belajarlah dari Luqman, bahwa kalimat harus nasehat.

AGAR NASEHAT UNTUK ANAK BEKERJA DAHSYAT

Agar Nasehat Untuk Anak Bekerja Dahsyat
Bagian 1
(Belajar dari Luqman)

Mengajari seorang anak dengan target tertentu bisa menggunakan banyak cara. Bisa dengan menasehati, menceramahi, menegur dengan lisan atau perbuatan, menghukum, dan sebagainya.
Luqman adalah potret penting dalam Al Quran yang digambarkan sebagai sosok penuh ilmu dan hikmah. Nasehatnya sebagai ayah kepada anaknya adalah satu-satunya yang diabadikan dalam Al Quran. Dari sekian banyak nasehat yang bertebaran untuk mendidik anak, ternyata hanya nasehat manusia biasa ini yang diabadikan, maka tentu ia mempunyai nilai istimewa.
Tentu, salah satu tolok ukur keistimewaannya adalah ketika rangkaian kalimat Luqman ini berhasil mengubah anaknya.
Bukankah hari ini banyak orangtua yang mengeluh tentang kalimat-kalimatnya yang nyaris tidak bekerja pada anaknya? Mereka merasa telah banyak menasehati tetapi mengapa tidak ada yang sekadar singgah di hati anaknya. Apatah lagi mengubah mereka untuk lebih baik.
Di sinilah seharusnya kita semua belajar kepada Luqman dalam rangkaian kalimatnya. Karena sekali lagi, nasehat Luqman adalah nasehat yang mampu mengubah.
Jumhurahli tafsir berkata: Sesungguhnya anak Luqman dulunya musyrik. Luqman terus menasehatinya hingga ia beriman hanya kepada Allah saja.
Bisa jadi anak Luqman dahulunya beragama dengan agama masyarakatnya di Sudan. Ketika Allah memberikan kepada Luqman Al Hikmah dan Tauhid, anaknya tidak mau mengikutinya. Maka Luqman terus menasehatinya, hingga ia mau mengikuti tauhid. (Ibnu Asyur dalam At Tahrir Wat Tanwir)
Di mana rahasianya?
Mari kita perhatikan kalimat-kalimat ayat sebelum isi nasehat disampaikan, karena di situ kuncinya,
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12)
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
(12) Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
(13) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(Qs. Luqman)
Inilahdua ayat yang mengawali nasehat-nasehat Luqman. Ada dua pelajaran penting yang harus dilakukan orangtua, jika ingin nasehatnya memiliki dampak dahsyat pada anaknya.
  1. Orangtua memiliki hikmah dan pandai bersyukur
  2. Menasehati dengan nasehat yang sesungguhnya
Tulisan ini membahas poin yang pertama. Poin pertama ini ada dua hal:
Pertama, Hikmah
Kedua, Syukur
Kedua hal ini harus dimiliki orangtua sebelum menasehati anaknya. Ingat, sebelum menasehati anaknya!
Tapi apa itu hikmah?
Ibnu Katsir –rahimahullah- menjelaskan,
“Pemahaman, Ilmu dan kalimat bertutur.”
Siapapun yang menalaah kalimat-kalimat Luqman kepada anaknya, bisa mengetahui bahwa Luqman mempunyai ketiganya dengan sangat baik dan mendalam. Karenanya Luqman mempunyai modal besar untuk nasehatnya bekerja dengan dahsyat pada anaknya, hingga sang anak berubah menjadi manusia betauhid.
Pemahaman. Inilah pentingnya orangtua menjadi orang yang terus belajar dan mengasah otaknya agar memiliki pemahaman yang baik terhadap segala permasalahan. Sayangnya, kecerdasan orangtua hari ini hanya dibayangkan untuk pekerjaannya. Tidak untuk anak-anaknya. Karenanya, banyak para wanita yang merasa gagal ketika sekolah sampai jenjang tinggi tetapi ‘hanya’ mengasuh anak di rumah. Hingga muncul kalimat di masyarakat: buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya di rumah.
Kini, dengan pembahasan ini kita paham di mana letak kegagalan rumah tangga. Mereka tidak memperlakukan keluarganya seperti memperlakukan pekerjaannya. Maksimal di pekerjaan, tetapi sekadarnya di rumah. Tampil paling cerdas dengan pemahaman istimewa di pekerjaannya, tetapi hilang logika dan kecerdasannya untuk mengasuh anak-anak.
Ilmu. Dengan pemahamanlah ilmu bisa terus berputar dan menghasilkan. Pemahaman dan ilmu saling menopang. Ilmu perlu pemahaman yang baik dan pemahaman bisa terus terasah jika berilmu terus menerus dengan baik. Semua ilmu yang baik, pasti dan harus bermanfaat untuk mendidik anak.
Jangan merasa rugi berilmu tinggi dalam rangka mendidik anak. Jangan bakhil belajar ilmu untuk mendidik anak.
Karena tanpa ilmu, kita merasa telah menasehati, padahal tengah membongkar aib anak. Tanpa ilmu kita merasa telah menyayangi, padahal tengah menuruti syahwat anak. Tanpa ilmu kita merasa telah mendidik dengan baik dan benar, padahal tengah lari dari tanggung jawab sebagai orang tua. Tanpa ilmu kita merasa telah menjadi orang tua yang sesungguhnya, padahal kita belum bergeser dari tempat kita duduk sebagai orang tanpa ilmu yang tak pantas menjadi ayah dan ibu untuk anak-anak peradaban.
Kalimat bertutur. Ini berhubungan dengan bahasa dan cara mengungkapkan. Lihatlah sekali lagi. Alangkah pentingnya kecerdasan berbahasa bagi orang tua. Sayang sekali, ketika kemampuan berbahasa yang baik, benar dan santun hanya untuk klien pekerjaan saja. Tetapi semua kaidah bahasa itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika bertemu anak-anak.
Orang tua harus menguasai benar cara mengungkapkan dan menyampaikan sesuatu. Dengan bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi di rumahnya. Jika harus dengan Bahasa Indonesia, maka berbahasa Indonesia lah yang benar dan baik. Jika dengan bahasa daerah, maka berbahasa daerahlah yang baik dan benar. Jika dengan bahasa lain, pun demikian. Cara bertutur, dalam bahasa kita tak hanya masalah kaidah, tetapi juga masalah intonasi. Kita harus paham, tema apa yang akan disampaikan dengan pilihan kata dan dengan intonasi seperti apa. Begitu seterusnya, kemampuan bahasa harus dimiliki oleh para orangtua agar nasehat bisa bekerja baik dalam kehidupan anak-anak.
Contoh aplikatif. Jika orangtua ingin menanamkan tentang kejujuran. Maka orangtua harus menguasai benar tentang tema kejujuran ini. Memahaminya dengan baik dari berbagai sisinya dengan ilmu. Bukan hanya definisi jujur. Tetapi berikut segala hal yang mungkin terjadi setelah orangtua menyampaikan dengan tutur bahasa yang baik dan benar. Contoh, ketika suatu hari anak menyampaikan dengan kejujurannya tentang keinginannya untuk melakukan sebuah dosa. Atau terbukti bahwa ia tidak jujur tetapi karena tekanan yang dialaminya. Semua ini memerlukan pemahaman, ilmu dan cara bertutur yang baik dan benar. Sehingga tidak salah dalam bersikap.
Itulah yang dikuasai Luqman sebelum memulai nasehatnya. Hal ini bisa dipahami dari kata (وإذ قال لقمان)huruf waw di awal ayat ini mengaitkan dengan kalimat di ayat sebelumnya. Sehingga maknanya adalah: Dan Kami telah memberikan kepada Luqman Al Hikmah, ketika itulah ia berkata kepada anaknya.
Hal ini menunjukkan bahwa Luqman mulai berkata kepada anaknya dalam rangka menasehati, setelah ia diberi Allah Al Hikmah. (Lihat tafsir At Tahrir Wat Tanwir)
Jika orang tua memiliki Al Hikmah dalam mendidik anak, maka sungguh ia telah mendapatkan anugerah sangat amat besar dalam hidupnya. Karenanya, kata setelahnya bagi Luqman adalah perintah kepadanya untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut.
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata,
“Kami perintahkan untuk bersyukur kepada Allah azza wajalla atas pemberian dan anugerah Allah berupa keutamaan yang khusus diberikan kepadanya dan tidak diberikan kepada anak-anak negerinya dan masyarakat di zamannya.”
Luqman adalah contoh ideal untuk sebuah hikmah. Bagi yang bisa mencapai apa yang dicapai Luqman tentu sebuah kenikmatan yang sangat agung dari Allah. Tetapi setidaknya orang tua terus mencoba hingga memiliki pemahaman, ilmu dan cara bertutur sebelum menasehatkan sesuatu bagi anaknya.
“Ini adalah puncak hikmah, karena mencakup analisa terhadap hakekat dirinya sendiri sebelum menganalisa sesuatu yang lain dan sebelum memberi petunjuk bagi orang lain.” (Ibnu Asyur dalam tafsirnya)
Syukur. Sifat mulia yang menjadi kata yang menggabungkan semua makna hikmah yang telah diberikan Allah kepada Luqman. Menjadi orang tua, harus kaya dengan rasa syukur. Pahamilah tema syukur dan hiaskan itu pada diri kita.
Untuk memahami lebih jelas, maka ketahuilah lawan katanya. Kufur: ingkar nikmat. Mengingkari nikmat, sekaligus akan mengingkari Pemberinya. Nikmat yang sesungguhnya besar, tidak terasa nikmat. Sesuatu yang berkurang sedikit, padahal masih dalam batas kenikmatan besar jika dibandingkan dengan orang di bawahnya, tidak terasa nikmat. Apalagi musibah, padahal masih banyak kenikmatan lain dalam hidupnya. Hidup ini serba kurang, gelisah dan keluh kesah. Padahal jika melihat ke bawah, kita masih jauh lebih baik dari kebanyakan orang yang lain. Karenanya Nabi memerintahkan untuk melihat orang yang dibawah kita secara nikmat agar tidak mudah meremehkan nikmat Allah, sekecil apapun.
Bersyukur kepada Allah, kebaikannya tidak dikirimkan kepada Allah yang disyukuri. Tetapi kembali kepada hamba yang bersyukur itu sendiri. {وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ}
“Sesungguhnya manfaat dan pahalanya kembali bagi mereka yang bersyukur.” (Ibnu Katsir dalam tafsirnya)
Kata (فَإِنَّمَا) semakin menguatkan bahwa kebaikannya syukur itu benar-benar hanya kembali kepada hamba yang bersyukur.
Maka, teruslah memupuk rasa syukur agar ilalang keluh kesah itu perlahan layu dan mati. Untuk menumbuhkan berbagai pohon kebaikan yang lebih manfaat.
Hikmah dan Syukur.
Menjadi orang tua yang memiliki hikmah
Dan
Menjadi orang tua yang pandai bersyukur
Semua kebaikannya akan kembali kepada mereka yang memiliki hikmah dan pandai bersyukur. Di antara kebaikan itu adalah anak-anak yang terus bergerak menuju sebuah perubahan yang baik dari hari ke hari. Dengan panduan nasehat-nasehat.
Bukankah itu harapan kita semua?